Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Lahir karena Delikuensi
KUPANG.NUSA FLOBAMORA–Hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) karena adanya perubahan perilaku seorang anak terhadap norma yang berlaku dalam masyarakat.
Munculnya tindakan dari kelompok anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak disukai masyarakat pada umumnya (delikuensi atau kenakalan remaja) yang kerap terjadi, diharapkan UU SPPA dapat memberi arti bagi pelaksanaan perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Hal ini diungkapkan Kepala Divisi (Kadiv) Pelayanan Hukum dan HAM (Yankumham) Kanwil Kemenhukham NTT, Marciana D. Jone, ketika membawakan materi tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada kegiatan Workshop Perlindungan ABH yang dilaksanakan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NTT di Hotel Sasando Kupang, Senin (16/9/2019).
Dijelaskan Jone, delikuensi (kenakalan remaja) tidak saja tindakan yang tidak disukai rekan sebaya tetapi juga tindakan yang dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (pidana).
Tindakan seperti pencurian, penganiayaan, pelanggaran asusila, penggunaan obat-obat terlarang dan sebagainya merupakan bentuk delikuensi. Untuk itu dengan lahirnya UU SPPA diharapakan dapat memberi arti bagi pelaksanaan perlindungan ABH.
“Tapi tetap ada konsekuensi yuridis bagi anak yang melakukan tindak pidana untuk berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya,” ujar Jone.
Menurutnya, SPPA adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara ABH pada proses penyidikan pidana anak oleh kepolisian. Penuntutan pidana anak oleh kejaksaan, persidangan anak oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
“Perlindungan terhadap ABH dimulai dari Pra Ajudikasi, Ajudikasi, Purna Ajudikasi. UU SPPA menekankan pentingya restorstive justice (Keadilan Restoratif). Dalam SPPA wajib diupayakan Diversi. Tujuannya, tercapainya perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi,” tegas Jone.
Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Provinsi NTT, Sylvia R Peku Djawang SP.,MM mengakui peran masyarakat dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak berhadapan dengan hukum masih rendah. Hak Anak sesuai prioritas perlindungan UU nomor : 23 / 2002 membutuhkan perlindungan khusus.
“Pemerintah NTT melalui dinas ini menjadikan isu perlindungan anak sebagai salah satu indikator RPJMD 2018 -2023. Paling diperhatikan adalah bagaimana kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ditangani sesuai regulasi bukan dilihat dari total kasus,” tegas Sylvia.
Dia menambahkan, strategi pengembagangan perlindungan anak, akan dilaksanakan secara terpadu berbasis masyarakat. Diharapkan elemen masyarakat melihat setiap anak sebagai milik bersama.
Adapun rekomendasi kesepakatan dalam workshop ini bahwa Dinas PPA Provinsi NTT dan mitra terkait bersepakat untuk mensosialisasikan UU SPPA kepada aparat penegak hukum, Aparat Pemerintah Daerah dan masyarakat di beberapa klaster.
Selain itu, untuk memastikan Perlindungan ABH secara baik maka penanganan dilakukan secara terpadu dari tingkat Desa serta mendorong Pemerintah Daerah untuk menyiapkan biaya Ver bagi ABH melalui DAU.(Amperawati).